2009/03/01

Perhitungan PPh 21 Karyawan Asing

Bagaimana perhitungan PPh 21 untuk karyawan asing di suatu perusahaan?
1. apakah mengikuti aturan layaknya karyawan lokal? ada PTKP dan biaya
jabatan?
2. apakah tarif PPh 21-nya juga sama?
3. bagaimana dengan NPWP-nya? apakah harus memiliki NPWP seperti
karyawan lokal?

Ekspatriat tersebut aakan bekerja atau berniat tinggal di wilayah
Indonesia melebihi dari 183 hari, maka dikategorikan sebagai Wajip Pajak Dalam
negeri dan atas penghasilannya tersebut dikenakan PPh Pasal 21 sebagaimana
pekerja lokal dengan mendapatkan pengurangan berupa biaya jabatan dan PTKP.
apabila tidak melebihi time test tersebut maka dikenakan PPh pasal 26 sebesar
20% atas penghasilan bruto yang diterimanya, kecuali yang bersangkutan dapat
membuktikan CRT (Certivicate of Residance Taxpayer) untuk memenuhi perjanjian
P3B dengan negara sang ekspatriat.




Pendaftaran sebagai Wajib Pajak

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, Setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri dan melaporkan kegiatan usahanya untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.

Pendaftaran Sebagai Wajib Pajak

Berdasarkan sistem "self assessment", Setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak. Kewajiban mendaftarkan diri ini berlaku pula bagi wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.

Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut adalah suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak, oleh karena itu kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Selain daripada itu, Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya.

Terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban untuk mendaftarkan diri dapat diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan, apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pendaftaran Menjadi Pengusaha Kena Pajak

Dalam hal Wajib Pajak adalah Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, maka diwajibkan pula untuk melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Terhadap Wajib Pajak ini, di samping Nomor Pokok Wajib Pajak, juga diberikan surat pengukuhan menjadi Pengusaha Kena Pajak.

Fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya, juga berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serta untuk pengawasan administrasi perpajakan.

Terhadap Pengusaha yang tidak memenuhi kewajiban untuk mendaftarkan diri dan atau melaporkan usahanya dapat diterbitkan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan, apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Langkah Mundur Windfall tax

ersi lain dari artikel ini telah dimuat di Majalan Warta Ekonomi No. 19 Tahun XX, 22 September 2008

Wacana pemberlakuan windfall tax mengemuka beberapa waktu terakhir di Indonesia. Pemicunya tidak lain adalah meningkatnya harga minyak dunia, yang mendorong peningkatan subsidi energi di luar batas kewajaran.

Untuk mengatasi lonjakan tersebut, kenaikan harga BBM bersubsidi adalah hal pragmatis yang dilakukan oleh setiap pemerintahan. Satu hal yang banyak ditentang mengingat besarnya dampak yang dihasilkan, yang tidak terbatas pada ekonomi akan tetapi juga kondisi sosial dan politik.

Untuk itu, opsi pengenaan windfall tax, sebagai alternatif dari kenaikan harga BBM, diajukan oleh sebagian pengamat dan beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pengenaan windfall tax pada perusahaan minyak dan tambang lainnya, yang memperoleh keuntungan besar, dipandang jauh lebih baik. Sebab hal ini akan meningkatkan pendapatan pemerintah, serta lebih memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Sekilas, opsi ini terlihat cukup masuk akal. Akan tetapi, ada beberapa ganjalan persoalan yang berpotensi untuk justru merugikan sebagai berikut.

Pertama, jenis pajak seperti apakah yang dimaksud dengan windfall tax itu sendiri? Jawaban atas pertanyaan ini adalah mutlak. Sebab tanpa satu definisi operasional yang sahih, maka akan terdapat kekosongan alat ukur objektif yang menyulitkan penerapannya.

Apakah ia, misalnya, adalah pajak pada pertumbuhan tingkat keuntungan (profit growth), pajak pada marjin keuntungan terhadap penjualan (profit margin as percentage of sales), atau sekedar pajak yang dikenakan atas dasar perbedaan antara harga pasar dan sebuah harga arbitrary yang dijadikan dasar (difference between market price and adjusted base price).

Dari pengalaman di beberapa negara, seperti Amerika Serikat pada tahun 1980-an atau Venezuela pada tahun 2000-an, pajak jenis terakhir agaknya yang dimaksud dengan windfall tax. Dengan kata lain, pajak ini tidak lain adalah semacam excise tax yang diberlakukan atas setiap perbedaan harga yang berlaku di pasar dan harga dasar yang ditetapkan pemerintah.

Dalam hal ini, jenis pajak tersebut sesungguhnya sudah juga diberlakukan di Indonesia untuk beberapa komoditi, seperti pajak ekspor untuk komoditi kelapa sawit atau crude palm oil (CPO). Dimana penetapan persentase pajak tertentu dikenakan untuk setiap perbedaan harga di pasar dunia dengan harga dasar progressif yang ditetapkan pemerintah.

Kedua, terkait dengan hal di atas, pengenaan pajak atas dasar perbedaan harga pasar dan harga dasar memiliki banyak kelemahan. Penetapan harga dasar yang dijadikan patokan pengenaan pajak, sebagaimana dalam kasus pajak ekspor, merupakan satu soal yang pelik. Hal ini mengingat harus diperhatikannya berbagai perubahan yang ada di pasar.

Hal ini walau mungkin dilakukan, akan tetapi memiliki tingkat kesulitan teknis yang tinggi akibat sangat fluktuatifnya harga minyak dan barang tambang saat ini. Dalam jargon teknis, estimasi kurva permintaan dan penawaran minyak dan barang tambang adalah sulit. Sebab, bisa jadi apa yang ditangkap adalah sekedar pergerakan kurva (movement of the curve), bukannya pergerakan sepanjang kurva (movement along the curve) dari permintaan atau penawaran, atau sebaliknya.

Demikian juga, penetapan harga dasar rawan terhadap praktek kolutif. Pihak-pihak yang berkepentingan sudah pasti dengan berbagai cara akan mencoba mempengaruhi pengambil kebijakan. Sehingga sebagaimana praktek penetapan harga lainnya, yang justru timbul adalah inefisiensi yang diakibatkan oleh praktek rent-seeking.

Ketiga, dampak ekonomi yang terjadi akibat pengenaan windfall tax kerap tidak sebagaimana yang diharapkan. Beberapa kajian, termasuk yang dilakukan INDEF (2007) dalam hal CPO, menunjukkan bahwa jenis pajak ini memiki dampak berspektrum luas, termasuk peningkatan harga domestik mulai dari hulu sampai hilir dan penurunan tingkat produksi.

Hal ini sangat mungkin terjadi pada minyak dan produk tambang lainnya seperti batubara, mengingat tingkat keuntungan perusahaan biasanya bersifat netral dalam jangka pendek. Dengan kata lain, pengenaan windfall tax tidak merubah struktur biaya marjinal (marjinal cost) dari perusahaan, mengingat akan dikompensasikannya pajak ini dengan penekanan biaya produksi lain, seperti biaya input dan biaya tenaga kerja.

Dalam kasus CPO, misalnya, pengenaan pajak ekspor tidak menyebabkan rendahnya keuntungan perusahaan, akan tetapi meningkatnya harga domestik produk CPO termasuk minyak goreng serta rendahnya tingkat output. Begitu juga, pengenaan pajak ekspor menyebabkan tertekannya harga jual tandan buah segar sebagai produk input dari CPO dan gaji buruh tani.

Satu hal yang tentu saja ironis. Dimana pemberlakukan kebijakan yang bertujuan pro-poor, pada praktek justru terjerembab pada kebijakan yang anti-poor.

Keempat, pengenaan pajak jenis ini juga berpotensi menjadi bumerang, mengingat sangat bisa jadi justru perusahaan-perusahaan domestik yang menjadi korban, bukannya perusahaan asing. Windfall tax profit yang diberlakukan sangat mungkin justru akan mengimbas terhadap perusahaan domestik seperti Pertamina, Aneka Tambang, Bumi Resource atau Adaro. Begitu juga, penurunan tingkat produksi yang mengikuti bisa justru menurunkan pendapatan pajak pemerintah, yang bertolak belakang dari harapan peningkatan pendapatan.

Kelima, secara teknis pemberlakukan kebijakan ini tidak mudah. Penetapan pajak baru haruslah diatur oleh undang-undang (UU), atau payung hukum sejenis yang menaunginya. Legislasi aturan ini tidak bisa dilakukan serta merta, ada proses pembahasan dan pengesahan yang dapat memakan waktu tahunan. Demikian juga, memulai proses ini akan menghilangkan banyak waktu dan momentum, mengingat telah disahkannya UU Pajak Penghasilan (PPh) yang baru, atau telah mulai sedikit melemahnya harga minyak global.

Alhasil, dari berbagai potensi kelemahan ini, kebijakan pengenaan windfall tax profit meski populis, bisa jadi justru bersifat konterproduktif. Untuk itu, perlu diadakan satu kajian lebih jauh dengan kepala dingin, untuk memperkirakan dampak yang terjadi apabila windfall tax benar akan diterapkan. Jangan sampai kita kembali terjerembab pada pengambilan kebijakan yang tergesa-gesa dan lebih didorong oleh motif politik, tanpa memperhatikan resiko yang samar-samar sesungguhnya sudah terlihat.

Jatuh Tempo Pembayaran Pajak

Masalah jatuh tempo pembayaran pajak diatur dalam Pasal 9 UU KUP. Dalam UU No. 28 Tahun 2007 ini terdapat dua ayat baru yang ditambahkan, yaitu ayat 2b dan ayat 3a. Dua perubahan mendasar yang terdapat dalam UU KUP baru ini adalah masalah jatuh tempo pembayaran tahunan (PPh Pasal 29) dan pembayaran pajak untuk Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu.
Pembayaran Pajak Tahunan

Seperti kita tahu, selama ini atas kekurangan pembayaran pajak dalam SPT Tahunan, jatuh temponya adalah tanggal 25 bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir. Dalam UU KUP yang baru, ketentuan ini diubah menjadi : “Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan”. Dengan demikian pembayaran PPh Pasal 29 ini harus dibayar sebelum SPT Tahunan disampaikan dan tidak dikaitkan dengan tanggal tertentu. Hal ini sama saja dengan tidak ada tanggal jatuh temponya.

Bagaimana dengan sanksinya? Nah, sanksinya diatur dalam ayat 2b di mana dinyatakan bahwa jika pembayaran kekurangan pembayaran pajak dalam SPT Tahunan dilakukan setelah tanggal batas waktu penyampaian SPT Tahunan maka akan dikenakan sanksi bunga 2% per bulan dihitung sejak berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran. Dengan demikian, jatuh tempo pembayaran SPT Tahunan sama saja dengan tanggal batas waktu penyampaian SPT Tahunan.

Jatuh Tempo Pembayaran Bagi WP Usaha Kecil dan WP di Daerah Tertentu.

Ketentuan ini merupakan hal baru diperkenalkan dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 ini. Bagi Wajib Pajak Usaha Kecil jatuh tempo pelunasan STP, SKPKB, SKPKBT, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan pajak yang harus dibayar bertambah, dapat diperpanjang sampai paling lama menjadi 2 (dua) bulan. Hal yang sama juga diberikan kepada Wajib Pajak di daerah tertentu. Ketentuan lebih lanjut mengenai hal ini akan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pengertian NPWP

Istilah NPWP nampaknya sekarang sudah semakin populer di masyarakat. Ini tak lain karena gencarnya iklan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak tentang kewajiban untuk ber NPWP. “Punya penghasilan tapi tidak punya NPWP? Apa kata dunia?” Saya kira hampir semua kita sudah pernah melihat iklan itu. NPWP sendiri adalah kependekan dari Nomor Pokok Wajib Pajak. NPWP digunakan sebagai sarana administrasi dalam pemenuhan kewajiban dan hak masyarakat Wajib Pajak. Fungsinya mirip-mirip dengan KTP atau SIM, Cuma beda tujuannya saja. Nah, jika seseorang atau badan sudah memiliki NPWP, maka ia akan masuk ke dalam sistem administrasi perpajakan Indonesia.

Dengan demikian, secara formal, Wajib Pajak nantinya harus melakukan pelaporan-pelaporan pajak sesuai dengan jenis-jenis kewaibannya.Jenis-jenis kewajiban pajak ini bermacam-macam. Ada yang disebut PPh Pasal 25/29, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 4 ayat (2) serta ada juga kewajiban PPN.

Masing-masing orang atau badan berbeda-beda kewajibannya sesuai dengan kondisinya masing-masing. Untuk badan misalnya, kewajiban pajak hampir meliputi semua jenis kewajiban tersebut. Untuk orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha, kewajiban pajaknya biasanya adalah PPh Pasal 25 bulanan, dan pelaporan SPT PPh Tahunan. Kalau dia punya karaywan, kewajibannya juga meliputi PPh Pasal 21. Bagi orang pribadi yang statusnya hanya sebagai karyawan, kewajibannya hanya menyampaikan SPT Tahunan setiap tahun.

Mungkin banyak di antara Anda yang bertanya, siapa yang harus memiliki NPWP. Berdasarkan ketentuan, setiap badan (PT, CV, Yayasan, Koperasi dsb) wajib memiliki NPWP. Sedangkan untuk orang pribadi, yang wajib memiliki NPWP adalah orang yang penghasilannya dalam satu tahun melebihi jumlah tertentu yang disebut Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Tulisan ini hanya pengantar untuk mempelajari lebih mendalam tentang pajak di Indonesia. Tulisan-tulisan berikutnya akan membahas masing-masing jenis kewajiban pajak tersebut.

disadur dari dudiwahyudi.com

Cari Alternatif Mengatasi Penyimpangan Cost Recovery

Sektor Riil


Mimpi Merevisi Cost Recovery

Jum'at, 29 Februari 2008 - 11:33 wib
text TEXT SIZE :
Share

JAKARTA - Banyak catatan tentang dugaan penyelewengan cost recovery. Tapi, pemerintah tidak berani berbuat apa-apa.

Seperti yang sudah-sudah, pemerintah kembali pusing mengutak-atik APBN. Penyebabnya tentu saja kenaikan harga minyak yang tak terkendali. Sepanjang pekan silam, harga minyak memang bisa bertahan di atas level USD100 per barel selama beberapa hari.

Asumsi minyak yang dipatok di APBN 2008, yang sebesar USD60 per barel, lantas berantakan. Pemerintah merevisinya menjadi USD80 per barel, awal Februari silam. Eee.., sepekan kemudian, revisi itu direvisi lagi menjadi USD83 per barel.

Di sisi lain, produksi minyak di negeri ini juga cenderung mengempis dari tahun ke tahun. Dalam APBN 2008, pemerintah mengasumsikan produksi minyak sekitar 1,034 juta barel per hari (bph).

Nyatanya, dalam draft revisi APBN terbaru, asumsi tadi terkoreksi tajam menjadi tinggal 910 ribu bph saja. Menyedihkan, memang.

Sebenarnya, bukan tak ada jalan keluar bagi pemerintah untuk mengatasi kendala itu. Marwan Batubara, anggota DPD, meminta pemerintah untuk lebih serius mengurusi soal cost recovery migas. Cost recovery adalah biaya operasional yang dikeluarkan oleh investor, yang kemudian diperoleh kembali dari hasil penjualan produk migas.

Besar kecilnya cost recovery berpengaruh terhadap sisa produksi yang dibagi antara pemerintah dan investor. Biaya yang dibebankan dalam cost recovery meliputi biaya non-kapital tahun berjalan dari kegiatan eksplorasi, pengembangan, operasi produksi, dan biaya administrasi atau umum. Termasuk pula biaya depresiasi tahun berjalan, depresiasi tahun sebelumnya dan unrecovered cost (pengembalian biaya yang tertunda).

Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS), menyebutkan, sejak 1997 hingga 2006, angka cost recovery selalu mengalami kenaikan rata-rata enam persen per tahun. Di mata Marwan nilai cost recovery itu sangat tak masuk akal. Misalnya saja, perhitungan cost recovery migas 2007 yang diajukan pemerintah kepada DPR, untuk dibayarkan kepada para kontraktor migas, tercatat senilai USD10,4 miliar. Jumlah tersebut mencapai 30 persen dari penerimaan kotor sektor migas yang mencapai USD35 miliar.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pernah menyodorkan temuan tentang dugaan penggelembungan ongkos produksi yang dilakukan oleh 15 kontraktor bagi hasil (KPS) pada 2002-2005.

Hasilnya, dari cost recovery sebesar Rp122,684 triliun, ditemukan indikasi penyimpangan pada 43 KPS senilai Rp18 triliun.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga pernah menemukan kebocoran sebesar Rp 14,20 triliun dari enam KKKS, yakni Total E&P Indonesie, ConocoPhilips, Exxon Mobil, Vico, CNOOC, dan Chevron. Laporan itu sudah diberikan ke DPR.

Temuan-temuan tersebut membuat pemerintah dan DPR sepakat melakukan renegosiasi dengan KKKS. Suharso Monoarfa (Ketua Panja Asumsi Dasar, Pendapatan, Defisit, dan Pembiayaan Panitia Anggaran DPR) mengatakan, pemerintah juga sepakat melakukan tindakan hukum terhadap KKKS yang melakukan penggelembungan berdasarkan data temuan BPK.

Kenyataannya, hingga kini catatan itu hanya sebuah catatan saja. Belum ada tindakan nyata untuk mengubah kontrak tersebut, apalagi mengajukan kontraktor-kontraktor di atas ke pengadilan.

Luluk Sumiarso, Dirjen Migas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, mengatakan, pemerintah sedang mengkaji jenis kontrak yang non-cost recovery. Caranya dengan split gross revenue yang ditenderkan. Jadi nantinya bagian pemerintah sudah termasuk royalti, pajak dan sebagainya. Sedangkan bagian KKKS sudah termasuk biaya.

Tampaknya, rencana itu masih jauh. Jadi ada benarnya yang dikatakan oleh Amien Rais, mantan Ketua MPR. Pemerintah disebut tak punya nyali untuk melakukan negosiasi ulang. Kalau sudah begitu, silakan berpusing-pusinglah mengotak-atik angka di APBN 2008. Tapi, jangan sedikit-sedikit minta subsidi rakyat dipangkas gara-gara tidak mampu menutupi defisit anggaran.

Transfer Pricing Perminyakan

Alvin Lie: Awas Transfer Pricing Perminyakan

Jum'at, 27 Juni 2008 - 09:45 wib
text TEXT SIZE :
Share
Mochammad Wahyudi - Okezone

JAKARTA - Anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) Alvin Lie memeringatkan pemerintah kemungkinan adanya kasus penggelapan pajak pada kontrak kerja sama perminyakan dalam bentuk transfer pricing. Sebab, menurut Alvin, hal itu bisa dilakukan oleh perusahaan eksplorasi asing yang bekerja sama dengan pemerintah.

"Jadi kasus transfer pricing yang sekarang lagi hot bukan saja terjadi pada Adaro. Tapi bisa juga terjadi di minyak," ucapnya, saat rapat dengar pendapat dengan pemerintah, di gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta, Kamis (27/6/2008) kemarin.

Menurutnya, transfer pricing bisa dilakukan dengan modus perusahaan asing tersebut membeli peralatan eksplorasi kepada perusahaan yang masih terafiliasi, dan perusahaan itu bermarkas di luar negeri. "Untuk itu, Dirjen Pajak musti bisa lebih awas lagi," katanya.

Kekhawatiran Alvin terlihat wajar. Karena Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sendiri ternyata menemukan kasus serupa. Di tempat yang sama, Auditor Utama VII BPK, Widodo Mumpuni, transfer pricing termasuk kasus berarti yang ditemukan BPK saat mengaudit kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) perusahaan besar. "Yang signifikan Anda bisa lihat dilaporannya. Bahkan kasus aviliasi juga ditemukan, seperti transfer pricing," ucapnya. (hsp)

2009/02/28

Segera Revisi PPh Migas

pajak Migas Perlu Segera Direvisi
By icwweb
Selasa, Juni 17, 2008 10:12:44 282 Clicks and 0 Comments Pdf Version Printable Version Send this story to a friend

Akibat naiknya harga minyak dunia, para pengusaha perminyakan mendapatkan keuntungan tidak terduga atau windfall profit atas produk minyak yang dijualnya. Karena itu, pemerintah berencana mendapatkan penerimaan negara atas keuntungan tersebut dengan cara pengenaan pajak atas windfall profit itu atau merevisi kontrak production sharing (KPS) antara pemerintah dengan kontraktor perminyakan.

Polemik tersebut terus terjadi karena pengenaan pajak atas windfall profit belum diatur dalam UU Perpajakan. Opsi merevisi KPS akan ditentang oleh pengusaha perminyakan dan dunia internasional karena pemerintah dinilai tidak menaati kontrak yang disepakati sejak awal.

Dilemanya, tekanan terhadap APBN terus tinggi seiring semakin besarnya subsidi yang terus dikeluarkan pemerintah. Alhasil, dibutuhkan cara yang elegan dan diterima semua pihak, sehingga konsep sharing the pain dan sharing the risk and success bisa terwujud.

Penerimaan Migas
Di dunia, ada tiga bentuk kerja sama migas. Yaitu, kontrak karya, kontrak konsesi, dan kontrak production sharing (KPS). Saat ini, Indonesia menerapkan KPS dalam mengelola sumber daya alam minyak dan gas bumi. Yaitu, bentuk kerja sama yang berpedoman pada pembagian produksi migas dengan persentase tertentu.

Pemerintah mendapatkan dua penghasilan penting atas kontrak tersebut. Pertama, penerimaan migas sesuai persentase bagi hasil 85 : 15 (85 persen untuk pemerintah dan 15 persen untuk kontraktor). Kedua, penerimaan atas pajak penghasilan (PPh) migas. Sepintas, bila harga minyak dunia meningkat, otomatis penerimaan pemerintah juga meningkat.

Jadi, pemerintah akan sangat diuntungkan oleh kenaikan harga minyak dunia. Tapi, kok pemerintah masih harus mencabut subsidinya?

Saat ini, Indonesia sudah berstatus net importer minyak. Artinya, walaupun menjadi negara yang memproduksi minyak, tapi karena kebutuhan dalam negeri lebih besar daripada produksi yang dihasilkan, Indonesia harus mengimpor minyak juga untuk menutupi kekurangan.

Hal itu terjadi karena total produksi minyak nasional berkisar 962.811 barel per hari (BP Migas, Antaranews), sedangkan konsumsi dalam negeri berkisar 1.084.000 barel per hari (Hutagalung, artefaksi.com).

Terlebih, pemerintah juga tidak bisa mengatur pola distribusi serta pemasaran daripada pihak kontraktor, sehingga tidak sepenuhnya produksi minyak yang dihasilkan pihak kontraktor dijual ke pemerintah. Kenyataannya, pola bagi hasil 85 : 15 juga bukan merupakan angka mutlak. Sebab, kontraktor bisa mengurangi persentase itu dengan mekanisme cost recovery.

Artinya, semua biaya eksplorasi dan praproduksi menjadi tanggungan pemerintah. Itu menjadi sangat berat karena nilai cost recovery bisa mencapai USD 9,03 per barel (Hutagalung, artefaksi.com).

Untuk pembebanan PPh migas, sebenarnya pemerintah juga ikut menanggung beban pajaknya. Karena bagian yang diterima kontraktor (contractor's share) sudah termasuk pembayaran pajak, itu berarti semakin tinggi pajak yang dikenakan mengakibatkan bagian pemerintah (government's share) akan semakin turun.

Ilustrasinya sebagai berikut. Bila pajak yang dikenakan 48 persen, yang dibagi sebenarnya adalah 71,15 persen : 28,85 persen, pajak ditingkatkan menjadi 65 persen, maka menjadi 65 persen : 35 persen.

Pajak Migas
Sampai saat ini hanya dikenal pajak penghasilan migas (PPh migas). Sudah saatnya pemerintah menambah jenis pajak baru untuk menggali potensi perpajakan di sektor ini. Kalau mencermati struktur produksi nasional, hampir 90 persen produksi minyak nasional diproduksi dari kontraktor. Tentunya, pengenaan pajak tambahan tidak akan memberatkan BUMN-Pertamina yang tentunya pola keluar kantong kiri masuk kantong kanan bisa dihindarkan.

Jenis pajak yang bisa diterapkan adalah pajak atas windfall profit dan pajak atas pengalihan ladang minyak (farm in-farm out). Sudah sepantasnya keuntungan tak terduga itu dikenai pajak. Dan kalau dilihat dari sifatnya, pajak tersebut bisa disamakan dengan pajak atas hadiah yang bersifat final dengan tarif 25 persen.

Artinya, pengenaan pajak itu hanya pada keuntungan yang tidak terduga, terutama akibat kenaikan harga minyak dunia dan bersifat final, artinya dipungut hanya sekali dan tidak bisa mengurangi pajak tahunan dari perusahaan minyak tersebut.

Bila 90 persen produksi nasional minyak berasal dari kontraktor, produksi kontraktor adalah 866.529 barel per hari (bph). Dengan kenaikan windfall profit terendah 10 persen dan tarif pajak 25 persen, potensi pajak atas windfall profit itu bisa mencapai Rp 7,7 triliun!

Dalam bisnis perminyakan, sangat lazim terjadi pengalihan pengelolaan ladang minyak dari satu kontraktor ke kontraktor lain atau dikenal dengan farm in-farm out.

Sebagai contoh ketika Blok Cepu hangat dibicarakan beberapa waktu lalu, sebenarnya hak eksplorasi Blok Cepu sendiri dibeli oleh ExxonMobil dari Grup Humpuss. Kadang pengalihan itu bisa terjadi pada sumur minyak. Misalnya, pengalihan sumur minyak Sukawati dari Pertamina yang juga dibeli ExxonMobil. Padahal, saat itu sumur tersebut ditengarai telah berproduksi 85 ribu barel per hari (bph).

Tentu, modus utama terjadinya pengalihan tersebut adalah modus ekonomi. Pasti ada keuntungan dari setiap pengalihan tersebut. Secara perpajakan, pengalihan itu bisa dikategorikan sebagai pengalihan aset atau capital gain yang merupakan objek pajak dan dapat dikenai PPh atas pengalihan hak yang juga bersifat final.

Langkah Selanjutnya
Sekarang merupakan saat yang tepat untuk memperbaiki aturan dan atau kebijakan yang tentunya berpihak kepada rakyat. Jangka panjang, segera merevisi ulang perjanjian kontrak migas di Indonesia, terutama aturan mengenai cost recovery.

Beberapa studi memperlihatkan, pola bagi hasil yang diterapkan (KPS atau production sharing contract) tidak menguntungan pemerintah. Benchmarking dengan negara lain juga secara kasatmata sangat merugikan Indonesia. Di Libya, KPS yang diterapkan telah mematok maksimal hanya 35 persen dari cost revorey yang dapat dibiayakan.

Jangka pendek dan paling mungkin segera dilakukan adalah segera memasukkan pasal mengenai pengenaan pajak atas windfall profit dan farm in-farm out atas kontraktor perminyakan di RUU Pajak Penghasilan (PPh) yang sedang dibahas di DPR. Waktu yang tepat ini harus segera ditindaklanjuti pihak-pihak yang terlibat (pemerintah dan DPR), sehingga pelaksanaannya bisa segera direalisasikan.

Chandra Budi, staf Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan

Tulisan ini disalin Jawa Pos, 17 Juni 2008

IMPOR BARANG BARANG KEPERLUAN OPERASI PERMINYAKAN

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 34/PJ.24/1985

TENTANG

IMPOR BARANG-BARANG KEPERLUAN OPERASI PERMINYAKAN (SERI PPh PASAL 22-15)

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan berlakunya INPRES Nomor 4 Tahun 1985 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang Untuk Menunjang Kegiatan Ekonomi, maka oleh karena ternyata masih adanya keragu-raguan dalam pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan yang menyangkut impor barang-barang keperluan operasi perminyakan, bersama ini perlu diberikan penegasan hal-hal sebagai berikut :

  1. Barang-barang impor keperluan operasi perminyakan dibagi dalam 3 golongan yaitu Golongan A, Golongan B dan Golongan C.

  2. Atas impor barang-barang Golongan A dan Golongan C, selama ini dibebaskan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor, baik barang milik Pertamina maupun barang milik Kontraktor Bagi Hasil, Kontrak Karya, dan para subkontraktornya serta barang yang disewa atau milik induk perusahaan kontraktor tersebut bahkan juga barang yang dimasukkan oleh "supplier" lainnya. Semua barang itu telah dibebaskan dari pajak (dahulu MPO, sekarang PPh Pasal 22 Impor) dengan menggunakan fasilitas yang semata-mata diberikan kepada P.N. Pertamina, yaitu Wajib Pajak yang kewajiban perpajakannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. Jadi pembebasan PPh Pasal 22 Impor barang keperluan operasi perminyakan milik Pertamina tersebut diberikan karena Pertamina telah dikenakan pajak dengan cara tersendiri, maka tidak lagi dikenakan MPO atau PPh Pasal 22.

  3. Pembebasan PPh Pasal 22 Impor barang keperluan operasi perminyakan, baik barang-barang milik kontraktor yang merupakan BUT di Indonesia, milik induk perusahaan dari BUT yang bersangkutan, barang yang dimasukkan oleh subkontraktor dan "supplier" lainnya maupun yang disewa oleh kontraktor dari luar negeri, tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, karena pemenuhan kewajiban pajak kontraktor/subkontraktor atau "supplier" diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan Tahun 1984. Berhubung dengan itu bersama ini diberikan penegasan, bahwa atas semua impor barang-barang keperluan operasi perminyakan dan gas yang akan dipakai oleh semua kontraktor, kecuali Kontraktor Bagi Hasil atau Kontrak Karya sendiri, subkontraktor atau "supplier", baik yang diimpor sendiri maupun yang diimpor melalui Importir lain (inden), dikenakan pemungutan PPh Pasal 22 Impor.

  4. Sesuai dengan Instruksi Presiden tersebut di atas, maka :
    4.1. pemasukkan semua golongan barang impor guna keperluan operasi perminyakan ke dalam wilayah Indonesia oleh kontraktor, subkontraktor dan "supplier" lainnya yang tidak dilengkapi dengan LKP, pelunasan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Pasal 22 Impornya dilakukan pada bank-bank Devisa.
    4.2. pemasukkan semua golongan barang impor guna keperluan operasi perminyakan ke dalam wilayah Indonesia oleh kontraktor, subkontraktor dan "supplier" lainnya yang tidak dilengkapi LKP, pelunasan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Pasal 22 Impornya dilakukan melalui Bendaharawan Khusus Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
  5. Pemungutan PPh Pasal 22 Impor tersebut pada butir 3 di atas mulai berlaku sejak 1 Nopember 1985.

  6. Surat-surat edaran yang berkenaan dengan pemberian pembebasan PPh Pasal 22 Impor barang- barang tersebut pada butir 1, untuk keperluan operasi perminyakan dengan surat edaran ini dinyatakan ditarik kembali.





DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

Drs. SALAMUN A.T.