2008/10/27

Prosedur Pelaporan Pajak Perminyakan


Berdasarkan ketentuan PPh di Indonesia, Kontraktor Production Sharing adalah bentuk usaha tetap (permanent establishment) yang mempunyai kewajiban yang sama dengan Wajib Pajak Dalam Negeri. Kesamaan kewajiban Bentuk Usaha Tetap dengan Wajib Pajak Dalam Negeri ini termasuk dalam pemenuhan hukum pajak formal yang diatur dalam undang-undang tentang ketentuan umum tata cara perpajakan (UU KUP). Dengan masuknya bentuk usaha tetap ke dalam lingkup hukum pajak formal maka berlaku segala kewajiban-kewajiban administrasinya seperti wajib mendaftarkan diri kepada Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing terdekat untuk mendapatkan Surat Pemberitahuan (SPT) dan kewajiban-kewajiban lainnya.Pelaporan Pajak Penghasilan yang terutang bagi Kontraktor Production Sharing diatur melalui Ketentuan Menteri Keuangan 458/ KMK.012/1984 tentang tata cara perhitungan dari pembayaran pajak penghasilan yang terutang oleh Kontraktor Production Sharing dalam eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi dengan perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi Negara (Pertamina). Pasal 7ayat (1) pada Ketentuan Menteri Keuangan tersebut memberikan tata cara mengenai penyetoran pajak penghasilan Kontraktor Production Sharing yaitu melalui rekening valuta asing Departemen Keuangan pada Bank Indonesia. Penyetoran yang dilakukan oleh Kontraktor Production Sharing selambat-lambatnya pada tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya, dan dihitung atas penghasilan Kena Pajak dari pengambilan yang sebenarnya terjadi dalam suatu bulan takwim.

Setelah kontraktor memenuhi kewajiban-kewajiban sesuai dengan peraturan perpajakan dan setelah selesai dilakukan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), setelah itu Direktorat Jenderal Pajak akan mengeluarkan Surat Keterangan Pelunasan Pajak Penghasilan. Namun sebelum diberikannya Surat Keterangan Pelunasan Pajak Penghasilan, Direktorat Jenderal Pajak dapat mengeluarkan Surat Keterangan Sementara Pembayaran Pajak Penghasilan yang disetorkan oleh Kontraktor, setelah seluruh setoran tersebut dilunasi dan laporan pembayarannya diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Perlakuan Pajak di Industri Hulu Migas

Perlakuan Pajak di Industri Hulu Migas

Beberapa perlakuan pajak di Industri minyak dan gas bumi dapat dijabarkan sebagai berikut :

M.1. Sumbangan

Sumbangan / donasi boleh dibebankan sebagai biaya operasi dan boleh dikurangkan sebagai biaya dalam menghitung PPh Badan apabila sumbangan tersebut dilakukan dalam bentuk investasi, dan terhadap investasi dimaksud dapat disusutkan sebagaimana aktiva lainnya dan setelah disusutkan sepenuhnya barulah dapat dihibahkan. Diatur dalam S-1111/MK/1985 tanggal 27 September 1985 tentang Sumbangan (donation) yang dilakukan oleh Kontraktor. Kegiatan pengembangan lingkungan (community development) selama ini dibebankan sebagai biaya operasi perusahaan dan agar dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, pengeluaran tersebut dilakukan dalam bentuk investasi dan disusutkan sepenuhnya baru kemudian dihibahkan. Sedangkan beasiswa yg diberikan oleh Kontraktor dapat dianggap sebagai biaya pendidikan.

M.2. Bonus-Bonus yang dibayar oleh Kontraktor Production Sharing kepada Pertamina

Sehubungan dengan reformasi pajak tahun 1984 dikeluarkan Surat Menteri Keuangan No 548/KMK.012/1984 tentang tata cara perhitungan dan pembayaran pajak penghasilan yang terutang oleh Kontraktor Production Sharing dalam eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi dengan Pertamina, penghitungan biaya-biaya untuk kepentingan pengurangan penghasilan adalah biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan serta penyusutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-undang Pajak Penghasilan. Biaya-biaya yang diizinkan sebagai pengurang penghasilan bruto pada ketentuan Menteri Keuangan tersebut belum memasukkan bonus. Dengan untuk mempertegas perlakuan tentang bonus. Yaitu bahwa bonus-bonus yang dibayarkan oleh KPS kepada Pertamina dapat dipotongkan dari Penghasilan Bruto KPS. Selanjutnya dinyatakan bahwa agar penerimaan Pemerintah tidak mengalami perubahan sebagai akibat dimasukkannya bonus sebagai biaya, maka pembayaran bonus-bonus tersebut terlebih dahulu harus di gross-up. Dalam kontrak, bonus-bonus tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya operasi untuk tujuan penghitungan Pembagian Hasil Produksi (non-cost recoverable). Diatur dalam S-1105/MK.012/1985 tgl 27 Sept 1985 tentang bonus-bonus yg dibayar oleh Kontraktor kepada Pertamina. Bonus sebagaimana dimaksud Kepmen 815/KMK.012/1985 adalah bonus penandatangan, bonus produksi, bonus pendidikan, dan bonus lainnya dengan nama apapun yg dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dan agar penerimaan Indonesia tidak mengalami perubahan akibat dimasukkan bonus sebagai biaya, maka pembayaran bonus tersebut terlebih dahulu harus digross up. Semua bonus yg dibayarkan oleh Kontraktor dimasukkan merupakan penghasilan bagi Pertamina. Dalam kontrak PSC, bonus-bonus tsb tidak boleh dibebankan sebagai biaya untuk tujuan perhitungan bagi hasil (non-cost recoverable).

M.3. Pembebanan Pre-Production Costs pada Penghasilan Bruto

Biaya yang menjadi beban dalam masa pra-produksi dapat dikurangkan dari Pengahsilan Bruto pada saat dimulainya produksi komersial. Diatur dalam S-316/MK.012/1986 tanggal 22 Maret 1986. Bahwa Pasal 6 ayat (2) Kepmen 458/KMK.012/1984 menetapkan bahwa harga perolehan dari harta tak berwujud sepanjang berkenaan dan untuk keperluan pengembalian biaya-biaya terhadap survey dan biaya pengeboran tak berwujud (intangible drilling) dapat diperhitungkan sepenuhnya Dengan demikian, biaya yg menjadi beban dalam masa pra produksi dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pada saat dimulainya produksi komersial.

M.4. Pengaturan Gaji Karyawan KPS

Supaya beban pajak karyawan dari KPS Baru dapat disamakan dengan beban pajak yang dipikul para karyawan KPS Lama, Menteri Keuangan pada tahun 1985 menetapkan bahwa tidak keberatan jika benefit in kind yang diperoleh karyawan dapat dibayar dalam bentuk uang sekaligus di gross-up dalam pembayaran pajaknya, tersebut dapat diperhitungkan sebagai biaya dalam perhitungan pajak, diatur dalam SE-1109/MK/1985 tanggal 27 Sept 1985 tentang Pengaturan gaji karyawan Kontrak Production Sharing baru, agar beban pajak karyawan dari KPS baru dapat disamakan dengan beban pajak yang dipikul para karyawan KPS lama.

M.5. Pajak atas Technical Services & Biaya Overhead Kantor Pusat

Terhadap biaya-biaya tersebut dalam rangka memenuhi kewajiban Kontrak Production Sharing dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pajak tersebut ditanggung oleh Pemerintah yang pelaksanaanya dilakukan DJLK. Diatur dalam S-604/MK.017/1998 tanggal 24 November 1998 tentang Masalah Pajak Atas Technical Services dan Biaya Overhead KPS . Untuk itu terhadap overhead, technical services dan biaya yang timbul dari Kantor Pusat dalam rangka memenuhi kewajiban kontrak PSC dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yg berlaku. Pajak tersebut ditanggung oleh Pemerintah.

M.6 PPh Pasal 21/22/23/26

Ketentuan mengenai pemotongan dan pemungutan untuk Kontraktor KBH secara umum mengikuti ketentuan perpajakan yg berlaku. Mengingat asset-asset yg diimpor KPS merupakan milik Pemerintah, maka atas impor tersebut tidak dipungut PPh Pasal 22 (SE-34/PJ.24/1985).

M.7. PPN, PBB, dan pajak lainnya

Klausul Pajak dalam kontrak PSC menyebutkan BP MIGAS (Gov) menanggung dan membebaskan pajak lainnya (PPN, bea masuk, dsb)

Government, except with respect to Contractor’s obligation to pay the income tax and the final tax on profits after tax deduction, assume and discharge all other Indonesian taxes of Contractor including value added tax, transfer tax, import and export duties on materials, equipment and supplies brought into Indonesia by Contractor , its contractors and subcontractors" exactions in respect of property, capital, net worth, operations, remittances or transactions including‘ any tax or levy on or in connection with operations performed hereunder by Contractor.”



Crude Oil adalah bukan BKP (Barang Kena Pajak), maka kontraktor KPS bukan PKP (Pengusaha Kena Pajak ), PPN Masukan yg harus dibayar akan dikembalikan (direimburse) oleh Pertamina / BP Migas serta atas impor barang modal tidak dikenakan PPN impor mengingat barang modal tsb adalah milik Pemerintah (Pasal 15d UU 8/1971). Sama halnya dengan PPN, maka Kontraktor tidak akan dibebani dengan PBB, Pajak Daerah, Retribusi daerah, dsb. Pertamina / BP Migas akan membayar pajak-pajak tersebut yang diambil dari bagian pemerintah (Government share) sesuai dengan tagihan yang diterima oleh Kontraktor.

M.8. PPh atas Expatriates

Kegiatan usaha di industri hulu minyak dan gas bumi yang dilaksanakan oleh perusahaan asing akan menyebabkan mobilisasi tenaga asing yang didatangkan dari berbagai negara, sesuai dengan keahlian dan kebutuhan perusahaan yang bersangkutan untuk menunjang kegiatannya di Indonesia. Hal ini akan membawa implikasi perpajakan di Indonesia, tergantung kepada jangka waktu expatriates tersebut berada di Indonesia. Faktor lain yang dipertimbangkan adalah status pajak dari expatriates sebelum berada di Indonesia, artinya mereka subjek pajak negara mana sesaat sebelum datang ke Indonesia. Faktor ini penting untuk menentukan tax treeaty yang dipakai sebagai acuan dalam rangka menentukan perlakuan pajak penghasilan terhadap para expatriates tersebut. Untuk keperluan analisis ada tiga situasi yang dapat dibahas dari segi perlakuan pajak penghasilannya, yaitu : 1

a. Seorang expatriate berada di Indonesia selama jangka waktu yang lebih singkat daripada jangka waktu yang diatur di dalam tax treaty.

Dalam rangka kegiatan usaha yang dilakukan oleh perusahaan luar negeri seringkali terjadi bahwa perusahaan tersebut menempatkan beberapa expatriates ke Indonesia sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini akan membawa implikasi perpajakan bagi expatriates yang bersangkutan. Apabila mereka adalah subjek pajak di negara yang mempunyai hak pemajakan atas gaji yang diterima adalah dengan merujuk pada ketentuan di dalam tax treaty yang bersangkutan yang mengatur tentang dependent personal services. Dalam hal demikian terdapat tiga faktor yang dapat dipertimbangkan, yaitu

        • Jangka waktu keberadaan expatriate di Indonesia;

        • Apakah gajinya dibayar oleh subjek pajak di Indonesia, dan;

        • Apakah gajinya dibebankan kepada BUT yang ada di Indonesia.

Syarat pertama merupakan time test bagi exspatriates yang bersangkutan. Dalam penentuan time test ini expatriates yang bekerja di Indonesia akan diuji dengan waktu kehadiran di negara sumber (days of physical presence). Untuk syarat kedua, pemberi kerja yang membayar gaji expatriates yang bersangkutan bukan penduduk negara di mana pekerjaan itu dilakukan. Syarat ini merupakan penegasan bahwa pengecualian akan berlaku bila gaji itu tidak dibayarkan oleh pemberi kerja yang berada di negara tempat pekerjaan itu dilakukan. Untuk syarat terakhir, bila pemberi kerja mempunyai BUT di negara tempat pekerjaan itu dilakukan dan pembayaran penghasilan (gaji) tersebut dibebankan kepada BUT maka expatriates tersebut dikecualikan dari pengenaan pajak.

    1. Seseorang expatriate berada di Indonesia selama jangka waktu melebihi jangka waktu sebagaimana yang diatur di dalam tax treaty.

Dengan merujuk kepada ketentuan standar sebagaimana dikemukakan di butir a, maka dalam hal seorang expatriate berada di Indonesia melebihi time test waktu yang diatur di dalam tax treaty maka hak pemajaknya berada di tangan Indonesia, tanpa mempertimbangkan lagi dua syarat yang lain. Undang-undang domestik dapat digunakan apabila jangka waktu time test dilewati, expatriate yang bersangkutan dikenakan PPh pasal 17 sebagai kewajiban dalam negeri.

    1. Seoarang expatriate yang berdomisili di negara-negara yang tidak mempunyai tax treaty dengan Indonesia.

Apabila expatriate yang dipekerjakan di Indonesia berasal dari negara yang tidak mempunyai tax treaty dengan Indonesia, maka ketentuan dalam UU PPh berlaku sepenuhnya. Dengan demikian, apabila yang bersangkutan berada di Indonesia kurang dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, maka akan diperlakukan sebagai Wajib Pajak Luar Negeri sehingga semua penghasilan yang bersumb0er dari Indonesia dikenakan pajak penghasilan berdasarkan Pasal 26. Sebaliknya apabila expatriate tersebut berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, maka ia akan diperlakukan sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri dan karenanya akan dikenakan pajak penghasilan atas semua penghasilan dari seluruh dunia (worldwide income).

IBCluvb- Sigit

l

Komponen Cost Recovery


Operating cost terdiri dari atas capital cost dan non capital cost. Dibawah ini akan dijelaskan biaya-biaya apa saja yang masuk dalam capital cost dan non capital cost. Berikut ini penjabarannya : 1


Capital Cost

Capital Cost merupakan pengeluaran untuk mendapatkan barang-barang capital yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. Biaya tersebut diwujudkan dengan penyusutan dan amortisasi barang-barang capital secara tahunan. Biaya modal (capital cost) diperhitungkan dengan cara penghapusan aktiva tetap menurut double declining balance method (penghapusan ganda atas nilai sisa aktiva) atau dapat pula melakukan switch over ke metode straight line method (penghapusan sama rata) bila menguntungkan Kontraktor Production Sharing, dimulai sejak tahun digunakannya aktiva tetap yang bersangkutan. Termasuk dalam cakupan capital cost antara lain:

    1. Bangunan fasilitas pendukung operasi perminyakan seperti bengkel, pergudangan, instalasi listrik dan air, serta jaringan jalan di lokasi (field road);

    2. Bangunan pemukiman dan fasilitas pendukungnya seperti perumahan, pusat rekreasi kebugaran dan pemeliharaan kesehatan di lapangan;

    3. Fasilitas produksi antara lain meliputi anjungan lepas pantai dan fasilitas pendukung untuk pendiriannya, jaringan perpipaan baik untuk produksi maupun distribusi, perpompaan delivery maupun penyimpanan, dermaga, pabrik pengelolaan dan peralatannya, dan secondary recovery system.

    4. Movables antara lain alat-alat pengeboran darat maupun laut, kapal-kapal, pesawat terbang, tongkang, office equipment.

Non Capital Cost

Biaya non capital adalah biaya yang dibebankan semata-mata untuk keperluan operasi dalam tahun berjalan. Biaya survey, pengeboran sumur, eksplorasi, dan pengembangan sumur. Selain itu yang termasuk sebagai biaya non capital juga meliputi pengeluaran untuk :

      1. Tenaga kerja,barang-barang dan jasa yang diperlukan sehari-hari untuk operasi sumur minyak, fasilitas operasi produksi lapangan minyak, operasi pembaruan sekunder, penggudangan, pengangkutan dan penyaluran, operasi sumur gas, fasilitas operasi produksi lapangan gas, pengangkutandan penyaluran gas, alat dan perlengkapan pengolahan gas dan lain-lain kegiatan operasi termasuk reparasi dan pemeliharaan.

      2. Pengeluaran untuk kantor pelaksanaan administrasi, pelayanan penyediaan barang, penyediaan transportasi, penyewaan alat-alat khusunya alat-alat berat, penyewaan harta, penyewaan tenaga ahli, hubungan masyarakat dan pengeluaran lain yang dilakukan diluar negeri;

      3. Pengeluaran untuk tenaga pengeboran produksi (production drilling), barang-barang dan jasa yang digunakan dalam pengeboran sumur minyak yang tertuju pada cekungan minyak yang telah diketahui termasuk penutupan maupun pengeboran ulang, pendalaman dan perlengkapan sumur dan pembuatan jalan yang menuju ke sumur-sumur tersebut;

      4. Pengeluaran untuk tenaga pengeboran eksplorasi, barang-barang dan jasa yang digunakan dalam pengeboran sumber minyak maupun gas yang ditujukan pada penemuan cekungan minyak maupun gas yang belum diketahui dan pembuatan jalan-jalan yang menuju ke sumur-sumur tersebut;

      5. Pengeluaran untuk tenaga survey, barang-barang dan jasa yang digunakan untuk survey serial, geologi,topografi, geofisika, dan seismic, serta pengeboran percobaan (core hoel drilling).

      6. Pengeluaran lain untuk perlengkapan eksplorasi dan fasilitas yang mempunyai masa manfaat sata tahun atau kurang termasuk pembelian informasi geologi dan geofisika.


Dengan demikian Capital cost adalah pengeluaran untuk item-item yang masa manfaatnya melebihi satu tahun, diluar pengeluaran seperti dimaksud untuk non capital cost. Atas pengeluaran yang diperkenankan sebagai recoverable cost tersebut dilakukan penyusutan tahunan.

Depresiasi

Ketentuan penyusutan untuk pengusahaan industri hulu miinyak berbeda dari penyusutan perusahaan pada umumnya dan terdapat pengaturan khusus oleh pemerintah.



Kontraktor Production Sharing mengeluarkan biaya selama menjalani aktivitas operasional dibidang hulu. Biaya-biaya yang muncul tersebut akan mengurangi penghasilan yang diperoleh Kontraktor Production Sharing selama tahun berjalan dalam mencapai tahap produksi. Berikut ini biaya-biaya tersebut :2

      1. Acquisition Cost

Biaya-biaya yang terjadi sehubungan dengan usaha perusahaan untuk memperoleh properti (hak untuk melakukan industri minyak dan gas bumi disuatu kawasan /areal ), seperti biaya yang terjadi untuk mendapatkan hak untuk mengeksplorasi, mengebor, dan memproduksi (eksploitasi) minyak dan gas bumi yang berupa antara lain izin lokasi, izin pengolahan, dan lain-lain. Hak untuk melakukan kegiatan-kegiatan tersebut tentunya terkait dengan usaha untuk mendapatkan minyak dan gas bumi, panas bumi, dan mineral-mineral lainnya yang terkandung dalam suatu kawasan.

b. Eksploration Cost ( Biaya Eksplorasi)

Biaya-biaya yang terjadi dalam usaha untuk mengeksplorasi (mencari minyak dan gas bumi serta panas bumi ) pada suatu properti. Eksplorasi meliputi pengidentifikasian suatu areal yang potensial mengandung cadangan minyak yang melibatkan beberapa jenis survey seperti survey topografi, geologi, dan geophisik baik gaji ahlinya/ karyawan lainnya maupun biaya-biaya peralatan untuk kegiatan survey tersebut. Biaya-biaya eksplorasi meliputi juga biaya-biaya untuk mengebor sumur-sumur eksplorasi.

c. Development Cost ( Biaya Pengembangan)

Biaya-biaya yang terjadi dalam kaitannya dengan kegiatan-kegiatan untuk mempersiapkan atau mendapatkan Proved Reserve ( terdapatcadanagan terbukiti ) agar siap untuk diproduksi secara komersial.

d. Production Sharing (Biaya Produksi)

Biaya-biaya yang berhubungan dengan kegiatan mengangkat (lifting minyak, gas bumi, mineral-mineral lainnya keatas permukaan tanah), pengumpulan dalam tangki penimbunan, pemisahan antara minyak, gas bumi, dan endapan dasar air, treating (pengolahan), dan penyimpanan minyak dan gas bumi dalam tangki penyimpanan untuk siap dipasarkan (dialirkan ke pembeli). Biaya ini akan dibebankan langsung pada rugi/laba tahun berjalan.



IBCluvb-Hartomo-

Aokasi biaya dalam akuntansi perminyakan

Metode akumulasi, klasifikasi, dan alokasi biaya dalam akuntansi perminyakan yang telah diakui secara internasional baik dari FASB (Financial Accounting Standard Board) dengan Generally Accepted Accounting Principle (GAAP) nya dan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan nomor 29nya maupun International Accounting Standard adalah Succesfull Effort (SE) Method dan Full Cost (FC) Method. Apabila biaya-biaya tersebut dikapitalisasikan, maka biaya–biaya akan dialokasikan (dibebankan sebagai biaya) sejalan dengan waktu, pemanfaatan, dan kegiatan yang terjadi apakah akan abandonend (diabaikan), impaired (dikurangi), atau diproduksi, jika dilanjutkan dengan produksi, pembebanannya dikenal sebagai deplesi, namun jika yang terjadi adalah hal lainnya (abandonement atau impairment) pembebanannnya dilakukan sekaligus pada saat dibuatnya keputusan untuk tidak melanjutkan produksi tersebut. Apabila biaya-biaya tersebut dibebankan pada saat terjadinya, maka akan dibebankan terhadap pendapatan (revenue) atau perhitungan rugi laba periode terjadinya biaya tersebut. Perbedaan utama antara metode Succesfull Effort dan metode Full Cost adalah dalam penentuan kapan pembebanan biaya atau rugi terhadap penghasilan (perhitungan rugi-laba). Perbedaan utama lainnya adalah pada ukuran Cost Center (Pusat Biaya) biaya-biaya mana yang akan diakumulasikan dan diamortasikan. Pada Succesfull Effort, pusat biayanya adalah lease/kontrak, field/kawasan/areal, atau reservoir. Cost Center yang digunakan oleh metode Full Cost Effort ini biasanya jauh lebih kecil/sempit dari pada cost center yang digunakan oleh metode Full Cost. Cost Center dalam metode Full Cost adalah negara dimana dilakukannya industri minyak dan gas bumi tersebut. Metode Succesfull Effort umumnya konsisten dengan Financial Accounting Theory ( Teori Akuntansi Keuangan). Financial Accounting Standard Board (FASB) menyatakan:1

”Dalam konsep pemikiran Financial Acconting saat ini, aset merupakan suatu sumber ekonomi yang diharapkan dapat memberikan manfaat dimasa yang akan datang, dan non monetary assets ( asset non keuangan ) umumnya dihitung sesuai dengan biaya untuk memperolehnya. Biaya- biaya yang tidak secara langsung berhubungan dengan perolehan asset tertentu yang dapat memberikan manfaat di masa mendatang, tidak akan dikapitalisasikan, walaupun biaya tersebut cukup berpengaruh (material ) terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Biaya-biaya yang tidak dapat memberikan manfaat di masa datang harus dibebankan atau diakui sebagai kerugian pada periode terjadinya biaya tersebut.”

Tabel 3.2

COMPARATION OF ACCOUNTING TREATMENT

SUCCESSFULL EFFORT, FULL COSTING AND PSC










Sumber : Kanwil Pajak Khusus, Depkeu (2005)



Disamping metode-metode yang disebutkan diatas, di Indonesia (juga di banyak negara penghasil minyak dan gas bumi lainnya) ada juga yang perlakuannya agak berbeda. Production Sharing contract (PSC) walaupun klasifikasi biaya-biayanya masih menginduk pad kedua metode yaitu metode Succesfull Effort dan metode Full Cost, akan tetapi perlakuan akuntansi terhadap biaya-biaya tersebut agak berbeda,



IBCluvb- Hartomo-



Aspek Kontraktor Bagi Hasil (PSC)

Prinsip-prinsip pemajakan di Industri Hulu Migas khususnya Production Sharing Contract terdiri dari :


1. Ring Fence Policy

  1. Kebijakan ring fence ini tertuang dalam PP 35 Thn 1994 yang menyatakan kepada kontraktor diberikan satu wilayah kerja.

  2. Tujuan dari kebijakan ini adalah agar KPS yang beroperasi di beberapa wilayah kerja tidak dapat melakukan konsolidasi atau penggabungan biaya-biaya dari beberapa wilayah kerja tersebut baik untuk tujuan cost recovery maupun untuk tujuan perhitungan PPh Badan (tax consolidation)

Berdasarkan penuturan Bpk Surahmat Rachmanto dalam salah satu bukunya memaparkan mengenai Ring Fencing Policy sebagai berikut :1

Ring Fencing Policy, dimaksudkan agar dua wilayah kerja tidak dikonsolidasi, terutama apabila saat mulainya eksplorasi dari keduanya tidak bersamaan. Hal ini dapat dipecahkan dengan cara mengatur bahwa dalam hal suatu perusahaan memperoleh lebih dari satu wilayah kerja, perlakuan pajak dari masing-masing wilayah kerja dihitung secara terpisah, baik yang menyangkut penghasilan maupun biayanya.”



        1. Crafting (Relinguishment)

Adalah Istilah pengembalian daerah (relinguisment), dimana daerah explorasi biasanya sangat luas awalnya. Setelah masa eksplorasi awal di Indonesia, kontraktor diwajibkan mengembalikan sebagian daerahnya (partial relinguishment). Dan nanti setelah mendapatkan minyak atau gas maka hanya daerah yg dinyatakan komersil saja yang boleh dipertahankan oleh si kontraktor migas itu.

        1. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

Sesuai prinsip ring fence policy setiap blok (wilayah kerja pertambangan) harus diusahakan oleh satu entity. Setiap entity di suatu block wajib memiliki NPWP (SE-75/PJ./1990).

        1. Uniformity Principle

Dikenal sebagai Uniformity Principle di mana biaya-biaya dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak harus diartikan sama dengan biaya yang dihitung berdasarkan Kontrak PSC (yg diatur dalam Exhibit C). Berdasarkan Surat Menkeu No. S-443a/MK.012/1982 Tentang interpretasi dari Kepmen 267/KMK.012/1978. Sebelum 1978 Pertamina membayar pajak-pajak KPS dari bagian yg diperoleh Pertamina). Sejak 1978, KPS membayar sendiri PPh terutang. Pengecualian dari azas uniformity principle ini adalah untuk pembayaran bonus penandatangan, bonus produksi, bonus lainnya tidak boleh dibebankan sebagai biaya operasi dalam penghitungan bagi hasil produksi, namun boleh dibebankan (tax deductible) dari penghasilan bruto untuk tujuan penghitungan PPh Badan. Selanjutnya konsep ini ditegaskan lagi dalam SE bersama DJP dan Ditjen Moneter No SE-75/PJ/1990.

Farm – In Farm – Out

Pihak-pihak dalam Production Sharing Contract (satu atau beberapa Kontraktor) di satu Wilayah Kerja boleh menyerahkan persentase tertentu dari economic interest / working interest nya kepada pihak ketiga, dengan catatan mendapat persetujuan Pertamina / BPMIGAS terlebih dahulu. Clausul dalam Production Sharing Contract menyebutkan bahwa :2

Contractor have the right to sell, assign, transfer, convey or otherwise dispose of all or any parts of its right and interest under this Contract to any Affiliated Company without prior written consent of BP MIGAS, provided that BPMIGAS shall be notified in writing of the same beforehand and further provided that any assignee whom such rights and interests are assigned to under any paragraph of this Contract shall not hold more than one PSContract at any given time”.



Transfer seluruh atau sebagian dari Participating Interest yang dimiliki oleh satu Production Sharing Contract di satu Wilayah Kerja kepada Pihak Ke-3 lainnya disebut sebagai Farm-In , Farm – Out. Berdasarkan pemaparan Bpk John Hutagaol dalam salah satu bukunya, menyebutkan farm out sebagai berikut :3



“ Kontraktor dapat melakukan farm out yaitu mengalihkan sebagaimana atau seluruh hak dan kewajibannya (participating interest) kepada pihak lainnya dan apabila dilakukan farm out kepada perusahaan non afiliasi atau selain mitra kerja (other interest holders) dalam wilayah kerja, maka kontraktor wajib menawarkan terlebih dahulu kepada perusahaan nasional. Farm Out dilakukan setelah mendapat persetujuan Menteri ESDM berdasarkan pertimbangan BP MIGAS. “



IBCluvb -Hartomo-

Fiscal Stability Clauses

Prinsip ini tertuang dalam pasal 33A ayat (4) Undang-Undang PPh bahwa wajib pajak yang menjalankan usaha dibidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum,dan pertambangan lainnya berdasarkan kontrak bag hasil, kontrak karya atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud. Namun ketentuan Fiscal Stability Clauses diberi kelonggaran dengan diterbitkannya Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi. Pasal 31 ayat (4) pada Undang-Undang tersebut, mengatur bahwasanya kewajiban membayar pajak Badan Usaha atau Badan Usaha Tetap yang menjalankan pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi di sektor hulu diberikan dua pilihan. Pilihan Pertama mengatur bahwa kewajiban perpajakan Badan Usaha atau Badan Usaha Tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku pada saat Kontrak Kerja Sama ditandatangani.

Sedangkan pilihan kedua mengatur kewajiban perpajakan Badan Usaha atau Badan Usaha Tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku. Ketentuan ini dimaksudkan agar Kontraktor Production Sharing mendapat keleluasaan memilih ketentuan yang sesuai dengan kelayakan usahanya saat melakukan aktivitas sektor hulu. Mengingat pula bahwa pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi bersifat jangka panjang dan memerlukan modal serta beresiko tinggi.

Periodisasi Kewajiban PPh Production Sharing Contract (PSC)

Sesuai dengan masa berlakunya undang-undang perpajakan khususnya pembaharuan yang terjadi terhadap undang-undang pajak penghasilan (tax rezim), Perubahan tarif pajak tiap periode-periode berpengaruh terhadap Production Sharing Contract. Pengenaan tarif pajak penghasilan badan untuk Production Sharing Contract dikenakan tarif pajak final yaitu tarif tertinggi tarif progresif per periode tersebut. Atas hasil produksi migas, pemerintah berhak untuk menerima bagian sebesar 85% dari hasil produksi berupa lifting crude oil dikurangi cost of recovery dimana dalam jumlah tersebut sudah termasuk Pajak Penghasilan Badan dan Pajak atas Bunga, Deviden, dan Royalti (PBDR). Peraturan yang mengatur hal tersebut diatur secara khusus di dalam Kontrak Kerjasama antara Kontraktor Production Sharing dan juga berdasarkan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi. Kebijakan perpajakan menyangkut PPh badan dan PBDR yang merupakan kewajiban Kontraktor Production Sharing menyangkut banyak aspek antara lain pembebanan cost recovery serta tarif pajak. Seiring dengan berjalannya waktu, tarif PPh Badan dan PBDR telah mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 3.1

Dampak Perubahan Tarif Pajak

Share

Pra 1984

1984

1991

1994

2001

Corporate Tax

45%

35%

35%

30%

30%

Deviden tax (20%)

11%

13%

13%

14%

14%

Total Income Tax

56%

48%

48%

44%

44%

Net Contractor

44%

52%

52%

56%

56%

Production sharing






Government share

65,91%

71,15%

71,15%

73,22%

73,22%

Contractor share

34,09%

28,85%

28,85%

26,78%

26,78%

Sumber : Kanwil Pajak Khusus, Depkeu (2005)

Kewajiban Pajak Penghasilan Production Sharing Contract (PSC) di Indonesia sesuai data tabel diatas dapat dibagi dalam 4 periode, yaitu :



1. Kewajiban PPh Pra 1984

  1. Sejak berlakunya Kepmen 267/KMK.012/1978, KPS diwajibkan membayar PPh.

  2. Besarnya PPh yg dibayar adalah 45% untuk PPs dan 20% untuk PBDR atau efektifnya sebesar 56%.

  3. Dalam perhitungan bagi hasil /pajak, pembatasan cost recovery sudah tidak ada lagi.

2. Kewajiban PPh selama 1984 -1994

  1. Untuk KPS yg ditandatangani sebelum 1984 berlaku UU PPs sesuai Pasal 33(3) UU PPh 1984.

  2. Untuk KPS yg ditandatangani setelah 1 Jan 1984 dikenakan pajak berdasarkan UU PPh 1984.

  3. PPh terutang adalah 35% dan Branch Profit tax 20% atau efektifnya adalah 48%.



3. Kewajiban PPh pasca 1994

  1. Kontrak PSC yg ditandatangani sebelum 1 Jan 1995 berlaku ketentuan pada waktu kontrak ditandatangani (Pasal 33A UU PPh 1994).

  2. Kontrak PSC yg ditandatangani setelah 1 Jan 1995 berlaku UU PPh 1994.

  3. PPh terutang adalah 30% dan Branch Profit tax 20% atau efektifnya adalah 44%.



4. Kewajiban PPh pasca 2001

  1. Kontrak PSC yg ditandatangani sebelum 1 Jan 2001 berlaku ketentuan pada waktu kontrak ditandatangani

  2. Kontrak PSC yg ditandatangani setelah 1 Jan 2001 berlaku UU PPh 2001

  3. PPh terutang adalah 30% dan Branch Profit tax 20% atau efektifnya adalah 44%.





IBCluvb -Hartomo-

Perkembangan Production Sharing Contract

Adanya perkembangan harga minyak dunia serta adanya upaya menarik minat para kontraktor lebih banyak lagi untuk melakukan kegiatan pencarian minyak di Indonesia maka telah terjadi beberapa perubahan isi dari Production Sharing Contract (Kontrak Bagi Hasil ). Oleh karena adanya perubahan isi maka prinsip-prinsip Production Sharing Contract (Kontrak Bagi Hasil ) berbeda generasi ke generasi. Berikut ini dijabarkan perkembangan PSC, yaitu : 1



  1. Generasi I ( 1964-1977)

Kontrak ini merupakan bentuk awal Production Sharing Contract, pada tahun 1973/74 terjadi lonjakan harga minyak dunia sehingga pemerintah menetapkan kebijaksanaan bahwa sejak tahun 1974 para kontraktor wajib melaksanakan pembayaran tambahan kepada pemerintah. Hal ini disebabkan adanya selisih antara bagian pemerintah menurut kontrak dengan new deal agreement yang biasa disebut additional cash payment. 2Prinsip-prinsip pokok PSC Generasi I secara terinci sebagai berikut ini :

  1. Manajemen operasi ditangan Pertamina.

  2. Kontraktor menyediakan seluruh biaya operasi perminyakan.

  3. Kontraktor akan memperoleh kembali seluruh biaya operasinya dengan ketentuan maksimum 40% setiap tahun.

  4. Dari 60% dibagi menjadi:

    1. Pertamina = 65%

    2. Kontraktor = 35%

  5. Pertamina membayar pajak pendapatan kontraktor kepada pemerintah.

  6. Kontraktor wajib memenuhi kebutuhan BBM untuk dalam negeri secara proporsional (maksimum 25% bagiannya ) dengan harga US$ 0,20 / barrel.

  7. Semua peralatan dan fasilitas yang dibeli oleh Kontraktor menjadi milik Pertamina.

  8. Sebesar 10% dari interest Kontraktor ditawarkan kepada perusahaan nasional Indonesia setelah lapangan dinyatakan komersial.

  9. Sejak tahun 1974 hingga 1977 kontraktor diwajibkan memberikan tambahan pembayaran kepada pemerintah.



  1. Generasi II (1978-1987)

Pada tahun 1976 pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan IRS Ruling yang antara lain menetapkan bahwa penyetoran 60% Net Operating Income PSC ( yang sesuai UU NO.8 Tahun 1971 merupakan pembayaran pajak Pertamina dan Kontraktor) dianggap sebagai pembayaran royalty, sehingga disarankan agar kontraktor membayar pajak secara langsung kepada pemerintah. Disamping itu perlu ditetapkan Generally Accepted Accounting Procedure (GAP), dimana pembatasan pengembalian biaya operasi (cost recovery ceiling) 40%/ tahun dihapus. Untuk PSC yang berproduksi dilakukan Amandemen. Adapun prinsip-prinsip pokok PSC generasi II secara rinci seperti berikut ini :

    1. Tidak ada pembatasan pengembalian biaya operasi yang diperhitungkan oleh kontraktor.

    2. Setelah dikurangi biaya-biaya maka pembagiannya menjadi sebagai berikut:

  1. Minyak = 65,91% untuk Pertamina,34,09 % untuk kontraktor.

  2. Gas = 31,80% untuk Pertamina, 68,20% untuk kontraktor.

    1. Kontraktor membayar pajak 56% secara langsung kepada pemerintah.

    2. Kontraktor mendapat insentif berupa :

  1. Harga ekspor penuh untuk minyak mentah Domestic Market Obligation setelah lima tahun pertama produksi.

  2. Insentif pengembangan 20% dari modal yang dikeluarkan untuk fasilitas produksi.



  1. Generasi III (1998- dan seterusnya)

Pada tahun 1984, pemerintah menetapkan Peraturan Perundang-Undangan Pajak baru untuk Production Sharing Contract dengan tarif 48%. Peraturan tersebut baru bisa diterapkan terhadap PSC yang ditandatangani pada tahun 1988, karena dalam perundingan-perundingan yang dilakukan, pihak kontraktor masih mempunyai kecenderungan untuk menggunakan peraturan perpajakan yang lama. Dengan demikian maka pembagian hasilnya berubah menjadi sperti berikut :

  1. Minyak = 71,15 % untuk Pertamina;28,85% untuk kontraktor.

  2. Gas = 42,31% untuk Pertamina;57,64 % untuk kontraktor.

Bagian bersih setelah dikurangi pajak menjadi :

  1. Minyak = Indonesia/Kontraktor =85/15.

  2. Gas = Indonesia / Kontraktor =70/30.



1 Bachrawi Sanusi, Peranan Migas dalam Perekonomian Indonesia, (Jakarta, Penerbit Universitas Trisakti, 2002), hlm 37-39.


2 Sarwono. Tukirman, Soebagio. Masalah Perpajakan Dalam Dunia Minyak dan Gas Bumi Indonesia ( Jakarta. Direktorat Jenderal Pajak,1983). Hlm 13.


Bentuk-Bentuk Kerjasama Perminyakan

Kerjasama bentuk-bentuk kerjasama yang terjadi pada pengusaha minyak dan gas bumi di Indonesia meliputi:1


B.1. Kerjasama Konsesi.

Konsesi mempunyai pengertian sebagai suatu penyerahan daerah tertentu oleh pemerintah Republik Indonesia kepada perusahaan asing dalam rangka pengusahaan dan pemilikan sumber alam yang terkandung di daerah tersebut. Dalam kerjasama jenis ini, seluruh minyak dan gas bumi serta panas bumi yang dihasilkan akan menjadi milik perusahaan asing tersebut. Perusahaan asing (pengusaha) hanya berkewajiban memberikan sejumlah royalty yang besarnya ditentukan dalam perjanjian dengan pemerintah RI. Pada hakekatnya, bentuk kerjasama ini bertentangan dengan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kerjasama konsesi ini dapat diartikan sebagai penyerahan kedaulatan atas sebagian wilayah Republik Indonesia kepada pihak asing, dan negara hanya memperoleh imbalan dalam bentuk royalty. Mengingat hal-hal tersebut, maka untuk pertambangan minyak dan gas bumi dikeluarkan undang-undang nomor 4 tahun 1960 yang mengatur mengenai:

Pasal (1) : Bahan galian minyak dan gas bumi merupakan kekayaan nasional yang harus dikuasai oleh Negara.

Pasal (2): Pengusahaannya hanya oleh Negara yang dilaksanakan oleh perusahaan Negara.

Pasal(3) : Kontraktor hanyalah pihak yang bekerja untuk membantu perusahaan Negara dan menerima imbalan untuk hasil kerjanya tersebut.


Dengan dikeluarkannya undang-undang nomor 4 tahun 1960 tersebut, maka sejak tahun 1960 kerjasama konsesi dalam bidang pertambangan (khususnya pertambangan minyak dan gas bumi) sudah tidak dikenal lagi di Indonesia.


B.2. Technical Assistance Contract (TAC)

Perjanjian ini dilakukan antara Pertamina dengan kontraktor untuk meningkatkan produksi sumur tua milik Pertamina yang sudah mulai menurun. Dalam perjanjian tersebut dijelaskan mengenai kewajiban pihak kontraktor untuk menanggung semua biaya yang terjadi. Hak untuk pihak kontraktor adalah terhadap jumlah produksi minyak dan gas bumi Pertamina dari sumur tua tersebut. Apabila produksi sumur tua tersebut melebihi dari jumlah produksinya yang semula, maka kelebihan tersebut akan dibagi dua antara Pertamina dengan pihak kontraktor. Adapun prinsip-prinsip dari TAC ialah :

  1. Lahan dibagian Wilayah Kuasa Pertambangan (WKP) Pertamina;

  2. Manajemen operasi dilaksanakan oleh Pertamina;

  3. Biaya operasi sepenuhnya (100%) ditanggung oleh kontraktor;

  4. Pengembalian biaya operasi dibatasi 35% -40% pertahun;

  5. Pembagian hasil (sesudah pajak) adalah 65% untuk bagian Pertamina dan 35% untuk bagian kontraktor;

  6. Domestic Market Obligation (DMO) :

    1. Harga ekspor untuk 5 tahun pertama produksi (lapangan baru);

    2. US$ 0,20 per barel untuk produksi (lapangan lama).



B.3. Contract Enhanced Oil Recovery (EOR)

Kerjasama antara Pertamina dan Perusahaan Swasta dalam rangka meningkatkan produksi minyak di sumur dan lapangan minyak yang masih dioperasikan Pertamina dan sudah mengalami penurunan produksi dengan menggunakan teknologi tinggi meliputi usaha secondary dan tertiary recovery. Adapun prinsip-prinsip dari EOR ialah :

  1. Lahan di dalam Wilayah Kuasa Pertambangan (WKP) Pertamina;

  2. Manajemen operasi oleh Pertamina;

  3. Penyertaan Pertamina 50% dan Kontraktor 50%;

  4. Resiko operasi ditanggung Pertamina dan Kontraktor;

  5. Biaya Operasi ditanggung Pertamina sebesar 50% dan Kontraktor 50%;

  6. Pengembalian biaya operasi dibatasi 65%;

  7. Pertamina ditunjuk sebagai operator;

  8. Pembagian hasil untuk Pertamina 85% dan kontraktor 15%;

  9. Domestic Market Obligation :

    1. Harga ekspor untuk 5 tahun pertama produksi minyak baru (incremental oil);

    2. US$ 0,20 per barel atau 10% dari harga ekspor setelah 5 tahun produksi.



B.4. Perjanjian Operasi Bersama (Joint Operation Agreement)

Perjanjian ini dilakukan oleh dua perusahaan minyak atau lebih untuk mengeksplorasikan, mengembangkan, dan mengusahakan produksi minyak dan gas bumi pad suatu wilayah pertambangan minyak dan gas bumi. Dalam perjanjian tersebut disebutkan mengenai hak dan kewajiban semua anggota / partner yang meliputi jumlah biaya yang harus ditanggung dan bagian produksi yang boleh dimiliki. Dalam kontrak perjanjian ada pihak yang ditunjuk sebagai operator dan ada pihak yang menjadi anggota non operator. Prinsip-prinsip utama perjajian operasi bersama ini :

  1. Lahan diluar Pertamina;

  2. Manajemen operasi ditangani Pertamina;

  3. Pengembalian biaya operasi diberikan sepenuhnya yakni sebesar 100%;

  4. Resiko Eksplorasi sepenuhnya ditanggung kontraktor;

  5. Kontraktor menyetorkan 34% hasil produksi sebagai pembayaran pajak kepada pemerintah.



B.5. Perjanjian Joint Operating Body (JOB)

Suatu bentuk PSC yang berlaku untuk suatu prospective area yang sudah dilakukan eksplorasi. Adapun prinsip-prinsip dari JOB ialah :

  1. Pertamina menguasai maximum 50% participating interest;

  2. Terhadap participating interest Kontraktor, berlaku syarat-syarat dan split seperti yang berlaku dalam KPS;

  3. Kontraktor bersama-sama Pertamina membiayai eksplorasi dan pengembangan selanjutnya dari suatu lapangan, umumnya 50% uplift diberlakukan terhadap jumlah pengembalian oleh Pertamina kepada Kontraktor;

  4. Kontribusi Pertamina’s Annual Cash Call dimulai setelah operator’s expenditures match dengan Pertamina’s sunk cost atau setelah akhir tiga tahun pertama dari periode Kontrak;

  5. Pertamina adalah Operator yang dibantu oleh Kontraktor dalam bentuk suatu Joint Operating Body (JOB) dan di supervisi oleh suatu Joint Operating Committee (JOC);

  6. Pertamina dan Kontraktor membentuk anggota dari JOC, JOC menyetujui Work Program & Budget (WP&B) dan menetapkan policies.


B.6. Kontrak Karya

Pada kerjasama jenis ini, pemegang kuasa pertambangan adalah perusahaan Negara (PERTAMINA) sedangkan pihak perusahaan saing hanya bertindak sebagai kontraktor. Namun perusahaan Negara masih belum diberi wewenang manajemen untuk mengarahkan dan menentukan kegiatan kontraktor. Ada tiga perusahaan yang pernah terikat dengan kontrak ini yaitu PT CPI, PT SI,DAN PT Calasiatic & Topco(c&t). kontrak karya ini milai diberlakukan setelah disahkannya Undang-Undanag nomor 4 Prp tahun 1960. bentuk kerjasama perjanjian kontrak karya ini hanya berlaku sampai dengan tahun 1963, selanjutnya dipergunakan Contract Production Sharing (Kontrak bagi Hasil). Dalam kontrak karya ini terdapat hal-hal yang bersifat unik yaitu :

  1. Perusahaan Negara sebagai pemegang kuasa pertambangan sedangkan perusahaan swasta bertindak sebagai kontraktor;

  2. Manajemen dilaksanakan sepenuhnya oleh kontraktor dan semua kerugian yang mungkin terjadi akan ditanggung oleh kontraktor;

  3. Pembagian hasil dalam bentuk uang atas dasar perbandingan 60% untuk perusahaan Negara dan 40% bagi kontraktor, akan tetapi penghasilan pemerintah tidak boleh kurang dari 20% hasil kotor minyak bumi;

  4. Jangka waktu kontrak adalah 30 tahun untuk daerah yang baru dan 20 tahun untuk daerah lama;

  5. Penyisihan wilayah dilakukan dua atau tiga kali setelah jangka waktu tertentu;

  6. Kontraktor wajib ikut serta menyediakan minnyak untuk keperluan dalam negeri atas dasar proposional dan tidak melebihi 25% dari produksi areal dan atas dasar Cost ditambah Free $0,20/BBl.


B.7. Perjanjian (LOA) Loan Risk Agreement

Pemberian pinjaman kepada Pertamina untuk membiayai kegiatan mencari dan memproduksi minyak di wilayah tertentu. Pertamina nanti akan membayar pokok plus bunga dalam bentuk minyak.


B.8. Kontak Bagi Hasil (Production Sharing Contract)

Bentuk kerjasama bagi hasil ini merupakan modifikasi dari kontrak perjanjian karya. Kontrak bagi hasil (PSC) ini mulai dikenal sejak diberlakukannya undang-undang nomor 8 tahun 1971. dalam pasal 12-1 Undang-Undang ini dinyatakan bahwa dalam melakukan kegiatannya, Pertamina diperkenankan untuk berkerjasama dengan pihak lain dalam bentuk kontrak bagi hasil atau Production Sharing Contract. Dalam kontrak bagi hasil, ditetapkan bahwa wewenang berada ditangan pemerintah Republik Indonesia (yang diwakili oleh Pertamina). Peranan kontraktor minyak asing hanyalah sebagai penyandang dana dan melaksanakan kegiatan operasi perminyakan. Contract Production Sharing ini mempunyai hal-hal sebagai berikut:

  1. Pertamina bertanggung jawab atas manajemen operasi;

  2. Kontraktor melaksanakan operasi menurut Program Kerja Tahunan yang sudah disetujui Pertamina;

  3. Kontraktor menyediakan seluruh dana dan teknologi yang dibutuhkan dalam operasi perminyakan;

  4. Kontraktor menanggung biaya resiko operasi;

  5. Kontraktor diizinkan mengadakan eksplorasi selam enam sampai sepuluh tahun. Sedangkan eksploitasi boleh dilakukan oleh kontraktor selama 20 tahun atau lebih (jangka waktu kontrak adalah 30 tahun);

  6. Kontraktor akan menerima kembali seluruh biaya operasi setelah produksi komersial;

  7. Produksi yang telah dikurangi biaya produksi, dibagi antara Pertamina dan kontraktor;

  8. Kontraktor wajib menyisihkan /mengembalikan sebagian wilayah kerjanya kepada pemerintah;

  9. Seluruh barang operasi /peralatan yang dibeli kontraktor menjadi milik pemerintah;

  10. Seluruh data yang didapatkan dalam operasi menjadi milik pemerintah;

  11. Kontraktor adalah subjek pajak penghasilan, dan wajib menyetorkannya secara langsung kepada pemerintah;

  12. Kontraktor wajib memenuhi kebutuhan minyak dan gas bumi dalam negeri (Domestic Market Obligation) maksimum 25% dari bagian Contract Production Sharing;

  13. Kontraktor wajib mengalihkan 10% interestnya setelah produksi komersial kepada perusahaan swasta nasional yang ditunjuk Pertamina.

Production Sharing Contract ternyata lebih banyak digunakan dalam kerjasama dalam mengeksploitasi dan eksplorasi minyak bumi. Dalam perkembangannya, Production Sharing Contract ( Kontrak Bagi Hasil ) telah melewati beberapa generasi.

1 Pertamina, loc cit.

Beginning Story

Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat mempunyai tugas untuk mensejahterakan rakyatnya sehingga terbentuk suatu masyarakat yang adil, makmur, tentram, aman, sejantera dan merata bagi seluruh bangsa Indonesia. Kesejahteraan rakyat dan bangsa Indonesia hanya dapat dicapai melalui perekonomian yang baik, teratur, terencana, serta dengan moral yang tinggi, yang berarti bahwa untuk mencapai keadaan demikian itu harus dilakukan peningkatan keadaan ekonomi dan peningkatan moral rakyat melalui pembangunan nasional yang dilakukan pemerintah secara menyeluruh meliputi berbagai sektor.

Pembangunan nasional merupakan kegiatan yang berlangsung terus-menerus serta membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dengan semakin langkanya bantuan luar negeri dan keinginan lepas dari tekanan dan persyaratan negara donator, maka pembiayaan pembangunan diupayakan untuk bertumpu kepada kemandirian, oleh karena itu diperlukan usaha yang sungguh-sungguh, untuk mengerahkan dana pembangunan yang bersumber dari pendapatan pemerintah. Pembangunan nasional dilakukan melalui investasi dan investasi ini dibiayai dari tabungan negara dan dari tabungan rakyat. Tabungan negara terjadi jika pendapatan negara setelah dikurangi dengan pengeluaran rutin, masih ada sisa. Hal ini sepenuhnya terletak dalam kekuasaan pemerintah. Pemerintah wajib berusaha untuk meningkatkan tabungan negara ini dengan jalan menaikkan penerimaan negara, yaitu dengan menaikkan hasil yang berasal dari migas dan pajak-pajak atau dengan memperkecil / menekan pengeluaran-pengeluaran negara yang berupa biaya rutin yang terdiri dari:1

  1. Belanja pegawai

  2. Belanja barang

  3. Subsidi daerah otonom

  4. Bunga dan cicilan utang

  5. Pengeluaran rutin lainnya seperti subsidi BBM

Untuk memperkecil pengeluaran tersebut sangat sulit, sehingga usaha yang masih dapat dikembangkan adalah dengan menaikkan penghasilan dari sumber lainnya yaitu :

    1. Sumber minyak dan gas alam.

    2. Pajak.

    3. Penerimaan non pajak.

Tabungan rakyat adalah tabungan dari rakyat, karena penghasilannya tidak dikonsumsi semuanya, selain digunakan untuk pembangunan individual juga digunakan untuk pembangunan nasional. Tabungan pemerintah merupakan selisih positif dari penerimaan rutin dan pengeluaran rutin, dimana hal tersebut tertuang di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Di dalam APBN, Pemerintah mempunyai 2 (dua) sumber penerimaan untuk membiayai belanja negara, yaitu :

  1. Penerimaan Rutin ( Dalam Negeri) terdiri dari :

    1. Penerimaan Minyak dan Gas Bumi;

    2. Penerimaan di luar Minyak dan Gas Bumi;

  1. Pajak

  2. Bukan Pajak.

  1. Penerimaan Pembangunan ( Bantuan Luar Negeri ) terdiri dari :

    1. Bantuan Program;

    2. Bantuan Proyek.

Penerimaan Pembangunan dari Minyak dan Gas Bumi mempunyai peranan yang signifikan dalam membiayai pembangunan selama puluhan tahun. Penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi, sebagian besar merupakan hasil yang diperoleh pemerintah Indonesia dari kegiatan yang dilakukan Pertamina sebagai perusahaan negara yang bekerjasama dengan kontraktor minyak asing dalam bentuk Contract Production Sharing dan Kontrak Karya. Rincian Penerimaan dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Pemerintah menerima hasil ekspor minyak mentah dari Perusahaan Minyak Asing dalam rangka Contract Production Sharing dan Kontrak Karya;

  2. Pemerintah menerima pembayaran tambahan yang timbul dalam rangka Contract Production Sharing dan Kontrak Karya;

  3. Pemerintah menerima hasil dari pajak yang dibayar oleh kontraktor dalam rangka Contract Production Sharing dan Kontrak Karya, yaitu Pajak Perseroan dan Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalty.

Sejak lama pengawasan terhadap Contract Production Sharing hanya dilakukan oleh Badan Pengawasan dan Keuangan Pembangunan serta Badan Pengawas Migas (BP Migas) Pertamina. Pemerintah mengambil kebijakan untuk melakukan audit terhadap cost recovery yang mengurangi penghasilan setiap Contract Production Sharing sehingga split off pembagian keuntungan antara pemerintah dengan KPS serta pajak penghasilan yang dibayarkan oleh KPS tersebut dapat dibuktikan kewajarannya

1 Rochmat Soemitro, Pajak dan Pembangunan, (Bandung, Eresco,1988), hlm 9.