2009/03/01

Cari Alternatif Mengatasi Penyimpangan Cost Recovery

Sektor Riil


Mimpi Merevisi Cost Recovery

Jum'at, 29 Februari 2008 - 11:33 wib
text TEXT SIZE :
Share

JAKARTA - Banyak catatan tentang dugaan penyelewengan cost recovery. Tapi, pemerintah tidak berani berbuat apa-apa.

Seperti yang sudah-sudah, pemerintah kembali pusing mengutak-atik APBN. Penyebabnya tentu saja kenaikan harga minyak yang tak terkendali. Sepanjang pekan silam, harga minyak memang bisa bertahan di atas level USD100 per barel selama beberapa hari.

Asumsi minyak yang dipatok di APBN 2008, yang sebesar USD60 per barel, lantas berantakan. Pemerintah merevisinya menjadi USD80 per barel, awal Februari silam. Eee.., sepekan kemudian, revisi itu direvisi lagi menjadi USD83 per barel.

Di sisi lain, produksi minyak di negeri ini juga cenderung mengempis dari tahun ke tahun. Dalam APBN 2008, pemerintah mengasumsikan produksi minyak sekitar 1,034 juta barel per hari (bph).

Nyatanya, dalam draft revisi APBN terbaru, asumsi tadi terkoreksi tajam menjadi tinggal 910 ribu bph saja. Menyedihkan, memang.

Sebenarnya, bukan tak ada jalan keluar bagi pemerintah untuk mengatasi kendala itu. Marwan Batubara, anggota DPD, meminta pemerintah untuk lebih serius mengurusi soal cost recovery migas. Cost recovery adalah biaya operasional yang dikeluarkan oleh investor, yang kemudian diperoleh kembali dari hasil penjualan produk migas.

Besar kecilnya cost recovery berpengaruh terhadap sisa produksi yang dibagi antara pemerintah dan investor. Biaya yang dibebankan dalam cost recovery meliputi biaya non-kapital tahun berjalan dari kegiatan eksplorasi, pengembangan, operasi produksi, dan biaya administrasi atau umum. Termasuk pula biaya depresiasi tahun berjalan, depresiasi tahun sebelumnya dan unrecovered cost (pengembalian biaya yang tertunda).

Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS), menyebutkan, sejak 1997 hingga 2006, angka cost recovery selalu mengalami kenaikan rata-rata enam persen per tahun. Di mata Marwan nilai cost recovery itu sangat tak masuk akal. Misalnya saja, perhitungan cost recovery migas 2007 yang diajukan pemerintah kepada DPR, untuk dibayarkan kepada para kontraktor migas, tercatat senilai USD10,4 miliar. Jumlah tersebut mencapai 30 persen dari penerimaan kotor sektor migas yang mencapai USD35 miliar.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pernah menyodorkan temuan tentang dugaan penggelembungan ongkos produksi yang dilakukan oleh 15 kontraktor bagi hasil (KPS) pada 2002-2005.

Hasilnya, dari cost recovery sebesar Rp122,684 triliun, ditemukan indikasi penyimpangan pada 43 KPS senilai Rp18 triliun.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga pernah menemukan kebocoran sebesar Rp 14,20 triliun dari enam KKKS, yakni Total E&P Indonesie, ConocoPhilips, Exxon Mobil, Vico, CNOOC, dan Chevron. Laporan itu sudah diberikan ke DPR.

Temuan-temuan tersebut membuat pemerintah dan DPR sepakat melakukan renegosiasi dengan KKKS. Suharso Monoarfa (Ketua Panja Asumsi Dasar, Pendapatan, Defisit, dan Pembiayaan Panitia Anggaran DPR) mengatakan, pemerintah juga sepakat melakukan tindakan hukum terhadap KKKS yang melakukan penggelembungan berdasarkan data temuan BPK.

Kenyataannya, hingga kini catatan itu hanya sebuah catatan saja. Belum ada tindakan nyata untuk mengubah kontrak tersebut, apalagi mengajukan kontraktor-kontraktor di atas ke pengadilan.

Luluk Sumiarso, Dirjen Migas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, mengatakan, pemerintah sedang mengkaji jenis kontrak yang non-cost recovery. Caranya dengan split gross revenue yang ditenderkan. Jadi nantinya bagian pemerintah sudah termasuk royalti, pajak dan sebagainya. Sedangkan bagian KKKS sudah termasuk biaya.

Tampaknya, rencana itu masih jauh. Jadi ada benarnya yang dikatakan oleh Amien Rais, mantan Ketua MPR. Pemerintah disebut tak punya nyali untuk melakukan negosiasi ulang. Kalau sudah begitu, silakan berpusing-pusinglah mengotak-atik angka di APBN 2008. Tapi, jangan sedikit-sedikit minta subsidi rakyat dipangkas gara-gara tidak mampu menutupi defisit anggaran.

Tidak ada komentar: