pajak Migas Perlu Segera Direvisi | |||
By icwweb | |||
| |||
Akibat naiknya harga minyak dunia, para pengusaha perminyakan mendapatkan keuntungan tidak terduga atau windfall profit atas produk minyak yang dijualnya. Karena itu, pemerintah berencana mendapatkan penerimaan negara atas keuntungan tersebut dengan cara pengenaan pajak atas windfall profit itu atau merevisi kontrak production sharing (KPS) antara pemerintah dengan kontraktor perminyakan. Polemik tersebut terus terjadi karena pengenaan pajak atas windfall profit belum diatur dalam UU Perpajakan. Opsi merevisi KPS akan ditentang oleh pengusaha perminyakan dan dunia internasional karena pemerintah dinilai tidak menaati kontrak yang disepakati sejak awal. Dilemanya, tekanan terhadap APBN terus tinggi seiring semakin besarnya subsidi yang terus dikeluarkan pemerintah. Alhasil, dibutuhkan cara yang elegan dan diterima semua pihak, sehingga konsep sharing the pain dan sharing the risk and success bisa terwujud. Penerimaan Migas Di dunia, ada tiga bentuk kerja sama migas. Yaitu, kontrak karya, kontrak konsesi, dan kontrak production sharing (KPS). Saat ini, Indonesia menerapkan KPS dalam mengelola sumber daya alam minyak dan gas bumi. Yaitu, bentuk kerja sama yang berpedoman pada pembagian produksi migas dengan persentase tertentu. Pemerintah mendapatkan dua penghasilan penting atas kontrak tersebut. Pertama, penerimaan migas sesuai persentase bagi hasil 85 : 15 (85 persen untuk pemerintah dan 15 persen untuk kontraktor). Kedua, penerimaan atas pajak penghasilan (PPh) migas. Sepintas, bila harga minyak dunia meningkat, otomatis penerimaan pemerintah juga meningkat. Jadi, pemerintah akan sangat diuntungkan oleh kenaikan harga minyak dunia. Tapi, kok pemerintah masih harus mencabut subsidinya? Saat ini, Indonesia sudah berstatus net importer minyak. Artinya, walaupun menjadi negara yang memproduksi minyak, tapi karena kebutuhan dalam negeri lebih besar daripada produksi yang dihasilkan, Indonesia harus mengimpor minyak juga untuk menutupi kekurangan. Hal itu terjadi karena total produksi minyak nasional berkisar 962.811 barel per hari (BP Migas, Antaranews), sedangkan konsumsi dalam negeri berkisar 1.084.000 barel per hari (Hutagalung, artefaksi.com). Terlebih, pemerintah juga tidak bisa mengatur pola distribusi serta pemasaran daripada pihak kontraktor, sehingga tidak sepenuhnya produksi minyak yang dihasilkan pihak kontraktor dijual ke pemerintah. Kenyataannya, pola bagi hasil 85 : 15 juga bukan merupakan angka mutlak. Sebab, kontraktor bisa mengurangi persentase itu dengan mekanisme cost recovery. Artinya, semua biaya eksplorasi dan praproduksi menjadi tanggungan pemerintah. Itu menjadi sangat berat karena nilai cost recovery bisa mencapai USD 9,03 per barel (Hutagalung, artefaksi.com). Untuk pembebanan PPh migas, sebenarnya pemerintah juga ikut menanggung beban pajaknya. Karena bagian yang diterima kontraktor (contractor's share) sudah termasuk pembayaran pajak, itu berarti semakin tinggi pajak yang dikenakan mengakibatkan bagian pemerintah (government's share) akan semakin turun. Ilustrasinya sebagai berikut. Bila pajak yang dikenakan 48 persen, yang dibagi sebenarnya adalah 71,15 persen : 28,85 persen, pajak ditingkatkan menjadi 65 persen, maka menjadi 65 persen : 35 persen. Pajak Migas Sampai saat ini hanya dikenal pajak penghasilan migas (PPh migas). Sudah saatnya pemerintah menambah jenis pajak baru untuk menggali potensi perpajakan di sektor ini. Kalau mencermati struktur produksi nasional, hampir 90 persen produksi minyak nasional diproduksi dari kontraktor. Tentunya, pengenaan pajak tambahan tidak akan memberatkan BUMN-Pertamina yang tentunya pola keluar kantong kiri masuk kantong kanan bisa dihindarkan. Jenis pajak yang bisa diterapkan adalah pajak atas windfall profit dan pajak atas pengalihan ladang minyak (farm in-farm out). Sudah sepantasnya keuntungan tak terduga itu dikenai pajak. Dan kalau dilihat dari sifatnya, pajak tersebut bisa disamakan dengan pajak atas hadiah yang bersifat final dengan tarif 25 persen. Artinya, pengenaan pajak itu hanya pada keuntungan yang tidak terduga, terutama akibat kenaikan harga minyak dunia dan bersifat final, artinya dipungut hanya sekali dan tidak bisa mengurangi pajak tahunan dari perusahaan minyak tersebut. Bila 90 persen produksi nasional minyak berasal dari kontraktor, produksi kontraktor adalah 866.529 barel per hari (bph). Dengan kenaikan windfall profit terendah 10 persen dan tarif pajak 25 persen, potensi pajak atas windfall profit itu bisa mencapai Rp 7,7 triliun! Dalam bisnis perminyakan, sangat lazim terjadi pengalihan pengelolaan ladang minyak dari satu kontraktor ke kontraktor lain atau dikenal dengan farm in-farm out. Sebagai contoh ketika Blok Cepu hangat dibicarakan beberapa waktu lalu, sebenarnya hak eksplorasi Blok Cepu sendiri dibeli oleh ExxonMobil dari Grup Humpuss. Kadang pengalihan itu bisa terjadi pada sumur minyak. Misalnya, pengalihan sumur minyak Sukawati dari Pertamina yang juga dibeli ExxonMobil. Padahal, saat itu sumur tersebut ditengarai telah berproduksi 85 ribu barel per hari (bph). Tentu, modus utama terjadinya pengalihan tersebut adalah modus ekonomi. Pasti ada keuntungan dari setiap pengalihan tersebut. Secara perpajakan, pengalihan itu bisa dikategorikan sebagai pengalihan aset atau capital gain yang merupakan objek pajak dan dapat dikenai PPh atas pengalihan hak yang juga bersifat final. Langkah Selanjutnya Sekarang merupakan saat yang tepat untuk memperbaiki aturan dan atau kebijakan yang tentunya berpihak kepada rakyat. Jangka panjang, segera merevisi ulang perjanjian kontrak migas di Indonesia, terutama aturan mengenai cost recovery. Beberapa studi memperlihatkan, pola bagi hasil yang diterapkan (KPS atau production sharing contract) tidak menguntungan pemerintah. Benchmarking dengan negara lain juga secara kasatmata sangat merugikan Indonesia. Di Libya, KPS yang diterapkan telah mematok maksimal hanya 35 persen dari cost revorey yang dapat dibiayakan. Jangka pendek dan paling mungkin segera dilakukan adalah segera memasukkan pasal mengenai pengenaan pajak atas windfall profit dan farm in-farm out atas kontraktor perminyakan di RUU Pajak Penghasilan (PPh) yang sedang dibahas di DPR. Waktu yang tepat ini harus segera ditindaklanjuti pihak-pihak yang terlibat (pemerintah dan DPR), sehingga pelaksanaannya bisa segera direalisasikan. Chandra Budi, staf Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan Tulisan ini disalin Jawa Pos, 17 Juni 2008 |
2009/02/28
Segera Revisi PPh Migas
IMPOR BARANG BARANG KEPERLUAN OPERASI PERMINYAKAN
NOMOR SE - 34/PJ.24/1985
TENTANG
IMPOR BARANG-BARANG KEPERLUAN OPERASI PERMINYAKAN (SERI PPh PASAL 22-15)
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sehubungan dengan berlakunya INPRES Nomor 4 Tahun 1985 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang Untuk Menunjang Kegiatan Ekonomi, maka oleh karena ternyata masih adanya keragu-raguan dalam pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan yang menyangkut impor barang-barang keperluan operasi perminyakan, bersama ini perlu diberikan penegasan hal-hal sebagai berikut :
-
Barang-barang impor keperluan operasi perminyakan dibagi dalam 3 golongan yaitu Golongan A, Golongan B dan Golongan C.
-
Atas impor barang-barang Golongan A dan Golongan C, selama ini dibebaskan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor, baik barang milik Pertamina maupun barang milik Kontraktor Bagi Hasil, Kontrak Karya, dan para subkontraktornya serta barang yang disewa atau milik induk perusahaan kontraktor tersebut bahkan juga barang yang dimasukkan oleh "supplier" lainnya. Semua barang itu telah dibebaskan dari pajak (dahulu MPO, sekarang PPh Pasal 22 Impor) dengan menggunakan fasilitas yang semata-mata diberikan kepada P.N. Pertamina, yaitu Wajib Pajak yang kewajiban perpajakannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. Jadi pembebasan PPh Pasal 22 Impor barang keperluan operasi perminyakan milik Pertamina tersebut diberikan karena Pertamina telah dikenakan pajak dengan cara tersendiri, maka tidak lagi dikenakan MPO atau PPh Pasal 22.
-
Pembebasan PPh Pasal 22 Impor barang keperluan operasi perminyakan, baik barang-barang milik kontraktor yang merupakan BUT di Indonesia, milik induk perusahaan dari BUT yang bersangkutan, barang yang dimasukkan oleh subkontraktor dan "supplier" lainnya maupun yang disewa oleh kontraktor dari luar negeri, tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, karena pemenuhan kewajiban pajak kontraktor/subkontraktor atau "supplier" diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan Tahun 1984. Berhubung dengan itu bersama ini diberikan penegasan, bahwa atas semua impor barang-barang keperluan operasi perminyakan dan gas yang akan dipakai oleh semua kontraktor, kecuali Kontraktor Bagi Hasil atau Kontrak Karya sendiri, subkontraktor atau "supplier", baik yang diimpor sendiri maupun yang diimpor melalui Importir lain (inden), dikenakan pemungutan PPh Pasal 22 Impor.
- Sesuai dengan Instruksi Presiden tersebut di atas, maka :
4.1. pemasukkan semua golongan barang impor guna keperluan operasi perminyakan ke dalam wilayah Indonesia oleh kontraktor, subkontraktor dan "supplier" lainnya yang tidak dilengkapi dengan LKP, pelunasan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Pasal 22 Impornya dilakukan pada bank-bank Devisa. 4.2. pemasukkan semua golongan barang impor guna keperluan operasi perminyakan ke dalam wilayah Indonesia oleh kontraktor, subkontraktor dan "supplier" lainnya yang tidak dilengkapi LKP, pelunasan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Pasal 22 Impornya dilakukan melalui Bendaharawan Khusus Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. -
Pemungutan PPh Pasal 22 Impor tersebut pada butir 3 di atas mulai berlaku sejak 1 Nopember 1985.
-
Surat-surat edaran yang berkenaan dengan pemberian pembebasan PPh Pasal 22 Impor barang- barang tersebut pada butir 1, untuk keperluan operasi perminyakan dengan surat edaran ini dinyatakan ditarik kembali.
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
Drs. SALAMUN A.T.